Sabtu, 19 September 2015

Generasi Muda Harus Mampu Wujudkan Modernisasi (Idsa Bela Islami / 13800)

Generasi Muda Harus Mampu Wujudkan Modernisasi Pertanian

            Berbicara mengenai pertanian, kebanyakan masyarakat Indonesia membayangkan gaya hidup yang sederhana dan tradisional seperti membajak dengan kerbau ataupun bergelut dengan lumpur di tengah hamparan nan hijau. Seiring berjalannya waktu, teknologi pun semakin meningkat. Begitu pun dengan pertanian yang terpercik akan kemajuan teknologi. Adanya teknologi, petani mengenal traktor dan mesin – mesin canggih lainnya yang dapat membantu mempercepat pengolahan tanaman.Pertanian dengan teknologi tidaklah dapat dipisahkan, mengingat pertanian merupakan sektor penting dalam suatu negara. Hal itu karena pertanian memiliki pernana penting dalam dunia ini. Berbicara pertanian merupakan berbicara mengenai hajat hidup orang banyak, memnuhi lumbung padi atau bahan pokok lainnya disetiap negara bahkan merupakan juga berbcara mengenai ketahanan suatu negara.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan), M. Syakir mengatakan bahwa saat ini pertanian Indonesia telah mengalami awal kebangkitan menuju modernisasi pertanian. Modernisasi pertanian, merupakan pengolahan seputar pertanian dengan menggunakan peralatan teknologi yang membantu para petani. Seperti halnya mengolah tanah dengan traktor, menanam dengan transplanter, panen dengan combine harvester, dan untuk memasuki modernisasi pertanian tentu memerlukan sumberdaya manusia yang terampil. Dalam mewujudkan upaya itu, lebih lanjut disampaikan Kepala Balitbangtan, Kementerian Pertanian pada tahun ini telah membagikan 26 ribu traktor, 1.000 traktor roda empat, 21 ribu pompa air, 5.000 transplanter dan sekitar 1.700 combine harvester secara gratis kepada petani.
Hal tersebut juga disebabkan karena sebgaian besar komoditas perkebunan Indonesia masih mengekspor bahan primer ke luar negeri, yang membuat kurangnya nilai tambah. Hal ini membutuhkan sentuhan teknologi sehingga mewujudkan pertanian modern. Apalagi bila kita sangkut pautkan dengan persaingan global, dimana membutuhkan keterampilan dan inovasi sehingga mewujudkan hasil yang maksimal.

Sistem Pertanian Organik Terpadu (Pankrasius Rega 13722)

Sistem Pertanian Organik Terpadu

Pola integrasi antara tanaman dan ternak atau yang sering kita sebut dengan pertanian terpadu, adalah memadukan antara kegiatan peternakan dan pertanian. Pola ini sangatlah menunjang dalam penyediaan pupuk kandang dilahan pertanian, sehingga pola ini sering disebut pola peternakan tanpa limbah karena limbah peternakan digunakan untuk pupuk, dan limbah pertanian untuk makan ternak. Integrasi hewan ternak dan tanaman dimaksudkan untuk memperoleh  hasil usaha yang optimal, dan dalam rangka memperbaiki kondisi kesuburan tanah. Interaksi antara ternak dan tanaman haruslah  saling melengkapi, mendukung dan saling menguntungkan, sehingga dapat mendorong peningkatan efisiensi produksi  dan meningkatkan keuntungan hasil usaha taninya.
Sistem produksi ternak sapi, misalnya yang dikombinasi dengan lahan-lahan pertanian hendaknya dapat disesuaikan dengan jenis tanaman pangan yang diusahakan. Hendaknya ternak yang kita pelihara tidak menggangu tanaman yang kita usahakan, bahkan mendukung.  Dalam hal ini tanaman pangan sebagai komponen utamanya dan ternak menjadi komponen keduanya.
Konsep pertanian terpadu ini perlu kita galakan, mengingat sistem ini di samping menunjang pola pertanian organik yang ramah lingkungan, juga mampu meningkatkan usaha peternakan. Komoditas sapi merupakan salah satu komoditas yang penting yang harus terus ditingkatkan. Oleh karena itu upaya ini dapat digalakan pada tingkat petani baik dalam rangka penggemukan ataupun dalam perbanyakan populasi. Dengan meningkatnya populasi ternak sapi akan mampu menjamin ketersediaan pupuk kandang di lahan pertanian. Sehingga program pertanian organik dapat terlaksana dengan baik, kesuburan tanah dapat terjaga, dan pertanian bisa berkelanjutan.
Sebenarnya integrasi ternak dan tanaman ini tidak terbatas pada budidaya tanaman padi dengan sapi saja, namun juga dapat dikembangkan integrasi dalam sistem lahan kering dan perkebunan. Semuanya tergantung dari usaha pertanian yang dikembangkan setempat, sehingga limbah pertaniannya dapat bervariasi seperti misalnya limbah jerami padi dilahan sawah dan limbah jerami jagung dilahan kering, limbah tanaman bawang merah pun dapat digunakan untuk pengembangan ternak.
Sistem tumpangsari tanaman dan ternak banyak juga dipraktekkan di daerah  perkebunan.  Tujuan sistem ini adalah untuk pemanfaatan lahan secara optimal.  Di dalam sistem tumpangsari ini tanaman perkebunan sebagai komponen utama dan tanaman rumput dan ternak yang merumput di atasnya merupakan komponen kedua.  Keuntungan-keuntungan dari sistem ini antara lain :
(1) Dari tanaman perkebunannya dapat menjamin tersedianya tanaman peneduh bagi ternak, sehingga dapat mengurangi stress karena panas,
(2) meningkatkan kesuburan tanah melalui proses kembaliya air seni dan kotoran padatan ke dalam tanah, (3) meningkatkan kualitas pakan   ternak, serta membatasi pertumbuhan gulma,
(4) meningkatkan hasil tanaman perkebunan dan
(5) meningkatkan keuntungan ekonomis termasuk hasil ternaknya.
Sebenarnya sistem pertanian terpadu ini tidak terbatas pada pengusahaan hewan besar saja seperti sapi dan kerbau, namun juga dapat dintegrasikan antara ternak unggas dengan tanaman pangan, hotikultura. Kotoran unggas cukup potensial dimanfaatkan sebagai pupuk.

Dikutip dari : http://www.stppmalang.ac.id/index.php?id=artikel&kode=28

Jumat, 18 September 2015

Sistem Pertanian Terpadu - Model Pertanian Terpadu dalam Satu Siklus Biologi (Integrated Bio Cycle Farming) - Tsmarah Ayu P (12982)

SISTEM PERTANIAN TERPADU

LATAR BELAKANG

Indonesia saat ini menghadapi sejumlah masalah pembangunan ekonomi yang kompleks. Sejumlah masalah yang dimaksud mencakup pendapatan rakyat rendah, tingkat kemiskinan relatif tinggi, pengangguran tinggi, ketimpangan ekonomi, pem-bangunan ekonomi daerah yang berjalan lambat, utang luar negeri relatif tinggi, kelangkaan energi, ketahanan pangan keropos, dan kemerosotan mu-tu lingkungan hidup. Masalah pembangunan eko-nomi tersebut memerlukan pemecahan sesegera mungkin.

Dengan kondisi ekonomi Indonesia saat ini yang juga menghadapi kesulitan pembiayaan pemba-ngunan, untuk memecahkan masalah tersebut, kita perlu melakukan penajaman (focusing) strategi pembangunan ekonomi ke depan.

Sumberdaya Manusia

Rendahnya kualitas sumberdaya manusia merupakan kendala yang serius dalam pembangunan pertanian. Ketertinggalan petani dalam hal pendidikan di atasi dengan pendekatan penyetaraan pendidikan yang selanjutnya dikaitkan dengan pelatihan keterampilan berusahatani. Di samping itu, berbagai upaya pengu-atan kapasitas petani juga perlu dilakukan terutama dalam hal pengembangan sikap kewirausahaan, ke-mampuan dalam pemasaran dan manajemen usaha.

Produktivitas Lahan

Pada awalnya untuk menghasilkan lebih banyak pangan memerlukan luasan lahan budidaya, sehingga lahan merupakan sumberdaya pertanian yang utama. Dengan dimulainya revolusi hijau (intesifikasi pertanian), kepentingan nisbi lahan berkurang karena masukan pertanian ~ pupuk, mekanisasi, pestisida, irigasi, dan benih unggul ~ memberikan sumbangan yang signifikan terhadap kenaikan produksi pangan. Sebagian kebutuhan lahan disulih oleh teknologi.

Saat ini kebutuhan lahan kembali mencuat karena hasil panen yang semakin menurun sehubungan dengan penurunan produksi dan penyempitan lahan pertanian yang dialih-fungsikan, sedangkan kebutuhan pangan terus meningkat. Pulau Jawa setidaknya kehilangan 20.000 ha lahan pertanian setiap tahun akibat pemekaran kota di mana luasan lahan tersebut mampu menyediakan beras untuk 378.000 orang tiap tahun. Akibatnya lahan menjadi sumberdaya pertanian yang nilainya terus meningkat.

Penurunan produktivitas lahan pertanian disebabkan oleh terdegradasinya fungsi hayati lahan, yaitu kemampuan/kapasitasnya mengubah hara menjadi bentuk yang dapat dimanfaatkan tanaman





Kelembagaan

Kelembagaan petani sampai saat ini belum dapat mengangkat kesejahteraan petani, hanya di beberapa daerah saja yang sudah mapan dan mengakar pada masyarakat. Fungsi kelembagaan seperti koperasi masih kalah dengan rentenir/ijon dalam hal pembiayaan dan okupansi (pembelian) hasil panen, sehingga petani tidak memiliki kekuatan tawar-menawar (bargaining power) atas harga hasil panennya.

Permodalan merupakan masalah yang utama bagi petani, terutama petani peng-garap yang tidak memiliki lahan pertanian (hanya tenaga saja). Petani penggarap biasanya mendapat porsi sedikit dalam pembagian hasilnya dan terkadang bahkan tidak mencukupi untuk kegiatan budidaya di musim tanam selanjutnya, sehingga mereka butuh pinjaman permodalan. Petani lebih senang untuk mendapatkan pinjaman permodalan tersebut dari rentenir/ijon atas dasar kemudahan prosesnya (cepat, tidak perlu agunan) walaupun dengan bunga yang tinggi dan terikat kontrak penjualan hasil panennya. Rentenir dapat dengan mudah untuk menekan harga hasil panen petani, dan petani terpaksa harus menjualnya karena khawatir tidak akan mendapatkan pinjaman lagi.

TUJUAN

Tujuan Summary ini adalah memberikan solusi kepada petani untuk mengatasi kelemahan revolusi hijau, setidaknya dapat:

(1)      Meningkatkan kesejahteraan petani terutama kelompok masyarakat yang mata pencahariannya berkaitan langsung dengan sumberdaya pertanian.

(2)      Memanfaatkan kekosongan kegiatan pada waktu luang dan menguatkan cashflow usaha tani dengan melakukan diversivikasi horisontal pada usaha tani.

(3)      Menerapkan LEISA (Low External Inputs for Sustainable Agriculture)dan bio-cycle sehingga tercapai efisiensi biaya usaha tani yang akan menurunkan harga pokok produksi.

(4) Menerapkan prinsip 6-R (Rethinking-Reducing-Recovering-Reusing-Recycling-Responding).

(5)      Meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitif produk pertanian baik produk primer maupun olahan, sehingga memiliki daya saing yang kuat.

(6)      Menjaga dan meningkatkan kualitas sumberdaya petani.

melalui pengelolaan terpadu yang mencakup:

(1)      Integrated Crop Management (ICM) atau Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), seperti cara tanam, pola tanam, perawatan tanaman, metode panen, dll.

(2)      Integrated Nutrient Management (INM) atau Pengelolaan Hara Terpadu, yaitu menyediakan hara yang sesuai dengan jumlah hara (neraca hara) yang dibutuhkan oleh setiap komoditas, sehingga tercipta kecukupan hara dalam jumlah yang tepat dan tanaman dapat berproduksi optimal.

(3)      Integrated Pest Management (IPM) atau Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) yang lebih efektif dan ramah lingkungan seperti penggunaan pestisida nabati, perangkap, predator alami, organisme antagonis, dan usaha-usaha penegahan serangan hama/penyakit.

(4)      Integrated Soil Moisture Management (IMM) atau Pengelolan Air Terpadu (PAT) seperti peggunaan irigasi teknis atau teknologi yang lebih canggih lainnya dalam sistem vertigasi.

(5)      Integrated Livestock Management (ILM) atau Pengelolaan Ternak Terpadu [ Untuk peternakan dan/atau sistem/pola pertanian terpadu di mana ada hubungan timbal-balik antara pertanian dan peternakan.

(6)      Integrated Waste Management (IWM) atau Pengelolaan Limbah Terpadu [ Untuk peternakan dan/atau sistem/pola pertanian terpadu di mana siklus biologi (bio-cycle) dalam usaha budidaya yang tidak terputus dan pemanfaatan biomassa yang lebih efektif dan efisien (zero waste management).

Arahan dari pelaksanaan usaha tani yang berwawasan lingkungan ini menuju pertanian organik sebagai persyaratan mutlak menuju era perdagangan bebas yang akan menghasilkan produk pertanian sehat dengan meminimisasi terjadinya penu-runan produksi tahap awal karena pengurangan pupuk kimia berdasarkan perhi-tungan neraca hara.





SASARAN

Petani yang dapat melaksanakan konsep sistem pertanian terpadu ini adalah petani atau kelompok tani yang memiliki lahan sekurang-kurangnya 1 ha untuk menda-patkan kelayakan ekonomi yang cukup dalam kegiatan usaha tani. Diharapkan petani akan menjadi subyek dalam pelaksanaan kegiatan usaha tani tanpa ter-gantung dari pihak manapun dengan pembentukan permodalan dan pasar yang baik oleh lembaga atau instansi yang berkompeten.

SISTEM PERTANIAN TERPADU

Sistem Pertanian terpadu merupakan sistem yang menggabungkan kegiatan pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan dan ilmu lain yang terkait dengan pertanian dalam satu lahan, sehingga diharapkan dapat sebagai salah satu solusi bagi peningkatan produktivitas lahan, program pembangunan dan konservasi lingkungan, serta pengembangan desa secara terpadu. Diharapkan kebutuhan jangka pendek, mene-ngah, dan panjang petani berupa pangan, sandang dan papan akan tercukupi dengan sistem pertanian ini

MODEL PERTANIAN TERPADU

Model pertanian terpadu dalam satu siklus biologi (Integrated Bio Cycle Farming) yang tidak ada limbah, semua bermanfaat. Limbah pertanian untuk pakan ternak dan limbah peternakan diolah jadi biogas dan kompos sehingga impian membentuk masyarakat tani yang makmur dan mandiri terkonsep dengan jelas.

Konsep terapan pertanian terpadu akan menghasilkan F4 yang sebenarnya adalah langkah pengamanan terhadap ketahanan dan ketersediaan pangan dan energi secara regional maupun nasional, terutama pada kawasan kawasan remote area dari jajaran kepulauan Indonesia.

(1)       F1 [ FOOD; Pangan manusia (beras, jagung, kedelai, kacang-kacangan, jamur, sayuran, dll.), produk peternakan (daging, susu, telor, dll.), produk budi-daya ikan air tawar (lele, mujair, nila, gurame, dll.) dan hasil perkebunan (salak, kayumanis, sirsak, dll.)

(2)       F2 [ FEED; Pakan ternak termasuk di dalamnya ternak ruminansia (sapi, kambing, kerbau, kelinci), ternak unggas (ayam, itik, entok, angsa, burung dara, dll.), pakan ikan budidaya air tawar (ikan hias dan ikan konsumsi).

Dari budidaya tanaman padi akan dihasilkan produk utama beras dan produk sampingan bekatul, sekam padi, jerami dan kawul, semua produk sampingan apabila diproses lanjut masih mempunyai kegunaan dan nilai ekonomis yang layak kelola. Jerami dan malai kosong (kawul) dapat disimpan sebagai hay (bahan pakan kering) untuk ternak ruminansia atau dibuat silage (makanan hijau terfermentasi), sedangkan bekatul sudah tidak asing lagi sebagai bahan pencampur pakan ternak (ruminansia, unggas dan ikan). Pakan ternak ini berupa pakan hijauan dari tanaman pagar, azolla, dan eceng gondok.

(3)       F3 [ FUEL; Akan dihasilkan energi dalam berbagai bentuk mulai energi panas (bio gas) untuk kebutuhan domestik/masak memasak, energi panas untuk industri makanan di kawasan pedesaan juga untuk industri kecil. Hasil akhir dari bio gas adalah bio fertilizer berupa pupuk organik cair dan kompos.

Pemakaian tenaga langsung lembu untuk penarik pedati, kerbau untuk meng-olah lahan pertanian sebenarnya adalah produk berbentukfuel/energi.

Sekam padi dapat dikonversi menjadi energi (pembakaran langsung maupun gasifikasi) dan masih akan menghasilkan abu maupun arang sekam yang dapat diimplementasikan sebagai pupuk organic, sementara apabila energi sekam padi digunakan untuk gas diesel engine akan didapatkan lagi hasil sampingan berupa asap cair (cuka kayu) yang dapat digunakan untuk pengewet makanan atau campuran pestisida organik.

(4)       F4 [ FERTILIZER; Sisa produk pertanian melalui proses decomposer maupun pirolisis akan menghasilkan organic fertilizer dengan berbagai kandungan unsur hara dan C-organik yang relative tinggi. Bio/organic fertilizer bukan hanya sebagai penyubur tetapi juga sebagai perawat tanah (soil conditioner), yang dari sisi keekonomisan maupun karakter hasil produknya tidak kalah dengan pupuk buatan(anorganik fertilizer) bahkan pada kondisi tertentu akan dihasil-kan bio pestisida (dari asap cair yang dihasilkan pada proses pirolisis gasifikasi) yang dapat dimanfaatkan sebagai pengawet makanan yang tidak berbahaya (bio preservative).

Dari F4 diatas tersimpulkan betapa besar kasih sayang Sang Maha Pencipta terha-dap makhluk-Nya khalifah di bumi – tidak satupun ciptaan-Nya yang sia-sia

SUMBER : http://www.kompasiana.com/windiartaji/sistem-pertanian-terpadu-model-pertanian-terpadu-dalam-satu-siklus-biologi-integrated-bio-cycle-farming_550e5bf6813311c02cbc642e

KLHK Dukung UGM Rintis Sistem Pertanian Terpadu di Kawasan Hutan. Seperti Apakah? (GRACEZELDA VIVIANLI 13737)

Indonesia dikenal sebagai negara agraris. Tetapi dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah kewalahan untuk memenuhi kebutuhan pangan berupa beras. Program ketahanan pangan pun masih bertumpu pada lahan sawah di Pulau Jawa, yang tiap tahun lahanya kian menyusut drastis. Oleh karena itu, perlu digalakkan pemanfaatan hutan negara untuk mendukung sistem pertanian terpadu dengan tetap mempertahankan kondisi hutan.
Oleh karena itu, Universitas Gadjah Mada (UGM) merintis pengembangan sistem pertanian terpadu (integrated farming system) lewat pemanfaatan areal hutan di bawah tegakan hutan. Sistem ini didukung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Pehutani karena membantu pembukaan lahan hutan untuk ketersediaan pangan. Apalagi tahun 2015, pemerintah mengalihkan dana subsidi BBM sebesar Rp15 triliun untuk rehabilitasi jaringan irigasi satu juta hektar, distribusi benih, pupuk dan alat mesih pertanian.
“Semangat kami mengimplementasikan seluruh hasil riset di bidang kehutanan, hutan tidak sekedar melindungi lingkungan, tapi sumber pangan, energi, dan sumber tekstil yang berasal dari serat rayon,” kata Rektor UGM Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., saat membuka Rencana Aksi Pelaksanaan Integrated Farming System di Kawasan Hutan yang berlangsung di Ruang Multimedia UGM, pada Jumat (16/01/2014).
Lahan persawahan di daerah Pati, Jawa Tengah.  Foto : Tommy Apriando
Lahan persawahan di daerah Pati, Jawa Tengah. Foto : Tommy Apriando
Selama dua dekade terakhir, Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM Prof. Moh Naiem mengatakan kebijakan pemerintah dalam mendorong kedaulatan pangan tidak dilakukan secara serius. Saat ini luas lahan produksi pangan di Indonesia berkisar 15,35 juta hektar padahal yang dibutuhkan mencapai 24,2 juta hektar.
Dari kajian tim ketahanan pangan UGM, impor beras saat ini mencapai 10 persen dari produksi dalam negeri, dengan cadangan beras untuk mencukupi kebutuhan sekitar tiga bulan ke depan. Sementara itu, pertumbuhan luas panen sangat terbatas karena laju perluasan lahan pertania  baru sangat rendah, konversi lahan pertanian ke non pertanian sulit dikendalikan, degradasi sumberdaya air dan kinerja irigasi serta turunnya tingkat kesuburan fisik dan kimia laha pertanian.
Dengan 60 persen kawasan hutan dari total luas daratan, deforestasi akan tetap menjadi fenomena umum dan terkait dengan kerusakan lingkungan dan bencana alam. Oleh karena itu perlu kebijakan ramah lingkungan terhadap kedaulatan pangan melalui iptek tanpa mengorbankan kelestarian hutan. Deforestasi hutan tropis ke lahan pertanian ternyata didominasi oleh konversi hutan dalam pengembangan industri sawit yang sebagian besar dimiliki asing.
“Sektor pertanian masih menjadi primadona, lebih 40 persen penyerap total lapangan kerja yang saat ini didominasi oleh unskilled labour. Indonesia harus berani mengakui bahwa saat ini sektor pertanian masih merupakan tumpuan utama pendapatan rakyatnya, sehingga sektor pertanian harus tetap menjadi kunci keberhasilan pembangunan,” kata Naiem.
Permasalahan utama strategi pengembangan kedaulatan pangan di kawasan hutan yaitu akses lahan terbatas, akses modal, saprodi (sarana produksi) dan alsintan (alat dan mesin pertanian) terbatas. Tidak ada akses bibit dan benih, petani belum terlatih dan tidak teroganisir dan tata niaga buruk didominasi tengkulak.
“Permasalahan adanya ketidaktransparanan dalam akses sumber daya hutan yang didominasi para elit lokal, selain itu petani hutan selalu mendapatkan diskriminasi dalam hal bantuan saprodi dari pemerintah. Namun, dapat diatasi dengan penerapan sistem informasi,” tambahnya.
Dalam pengembangan sistem pertanian terpadu, Fakultas Kehutanan UGM telah mencoba menanam varietas padi.“Kita sudah mencobanya dengan menanam empat varietas padi di area kawasan perhutani di Jawa Timur dan Jawa Tengah lewat sistem tumpang sari dan gumpang gilir di sela tanaman jati dan pinus,” kata Naiem.
Di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Ngawi, Fakultas Kehutanan UGM mengembangkan sepuluh varietas padi gogo, yang baru diintensifkan pada tiga varietas unggulan yaitu Situpatenggang, Inpago 4, dan Inpari.
Hamparan sawah setelah dipanen.  Siklus tanam padi hanya sekali dalam setahun di masyarakat tradisi Ciptagelar.  Foto: Ridzki R. Sigit
Hamparan sawah setelah dipanen. Siklus tanam padi hanya sekali dalam setahun di masyarakat tradisi Ciptagelar. Foto: Ridzki R. Sigit
Sementara itu, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Prof. Dr. San Afri Awang, mengatakan KLHK dan Kementerian Pertanian bersepakat menyiapkan lahan sebesar sejuta hektar untuk meningkatkan produksi pangan berada di Kalimantan dan Papua. “Dari satu juta lahan ini, 500 ribu untuk pangan dan sisanya untuk tanaman tebu,” terangnya.
Penyediaan lahan satu juta hektar untuk mendukung pembangunan lahan sawah baru melalui pelepasan kawasan hutan dan sistem pinjam pakai. Selain itu juga disediakan pemanfaatan areal lahan hutan di bawah tegakan hutan seluas 250 ribu hektar, serta kerja sama kemitraan dunia usaha dengan bantuan dana CSR produktif seluas 1,6 juta hektar. San Afri mengatakan pada RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) produksi padi untuk kedaulatan pangan ditargetkan 82 juta ton.
Dia menjelaskan ada perbedaan antara sistem pertanian terpadu dan agro forestry.  Jika hutan terus-terusan ditanami padi, maka akan muncul masalah lainnya. Oleh karena itu, hutan jangan hanya dibuka untuk pertanian padi. Karena satu miliar penduduk dunia,  juga bergantung pada produk buah dan hutan alam.
Dia menyarankan pertanian terpadu harus diintegrasikan bersama kelompok petani di desa, sambil menerapkan undang-undang pengembangan desa.
San Afri menyebutkan sekitar 29 persen lahan hutan dikuasai korporasi, hanya 0,58 persen dipegang oleh rakyat. In sangat tidak adil dan menunjukkan kegagalan dalam meningkatkan ketahanan pangan dan kesejahteraan petaninya.
Lahan menjadi faktor produksi penting kedaulatan pangan maka luas tanah juga penting. Setiap orang di Jawa hanya punya tanah 0,24 hektar dan hanya 0,36 hektar di Jateng, serta 2,4 juta hektar dikuasai perum Perhutani. Oleh karena itu pendampingan menjadi penting.
“Saya rasa, (lahan untuk) pengusaha sudah cukup. Kita coba naikkan 12,7 juta hektar lahan hutan untuk rakyat. Era Presiden Jokowi sangat serius melakukan ini,” katanya.
Ia menambahkan, penelitian selama 10 tahun di Madiun untuk pertanian tumpangssari untuk satu hektar lahan sekali tanam menghasilkan 4,2 ton padi, 1,4 ton jagung dan 18 ton ubi kayu. KLHK sendiri meminta Perhutani menyiapkan tanah seluas 30 ribu hektar di Jawa Tengah, di Jawa Timur 30 ribu hektar dan di Jawa Barat 20 ribu hektar.
“Minimal rakyat desa memanfaatkan lahan 2 hektar dengan sistem pertanian terpadu. Selama ini hanya 0.25 hektar hanya dapat 1,2 ton. Gunakan mekanisasi dan panca usaha tani yang benar. Perhutani tiap tahun tanam 54 ribu hektar tanaman hutan, hanya 12 ribu tumpangsari, sisanya cemplongan (tidak terpakai),” tambahnya.
Pertanian konvensional di Yogyakarta yang masih mendominasi upaya ketersediaan pangan. Foto: Aji Wihardandi
Pertanian konvensional di Yogyakarta yang masih mendominasi upaya ketersediaan pangan. Foto: Aji Wihardandi
Sementara itu, Direktur Pascapanen dan Pembinaan Usaha Kementerian Pertanian Ir. Bambang Sad Juga, M.Sc mengatakan, sistem pertanian terpadu ini sejalan dengan nawacita Presiden Jokowi untuk mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Adapun turunannya yakni peningkatan kedaulatan pangan yang dicerminkan pada kekuatan mengatur masalah pangan secara mandiri yakni ketahanan pangan terutama kemampuan mencukupi pangan dari produksi dalam negeri dan mampu melindungi dan menyejahterakan pelaku utama pengan terutama petani dan nelayan.
“Kondisi riil ketahanan pangan nasional saat ini bertumpu pada lahan sawah yang terpusat di Pulau Jawa yang luasnya semakin menyusut. Permintaan produk pangan berkualitas meningkat, produksi rendah, lahan usaha sempit dan tidak bisa diperluas serta kebutuhan hidup terus meningkat,” kata Bambang.
Ia menambahkan penghasil devisi utama ada pada sektor pertanian. Ekspor hasil perkebunan pada tahun 2013  sebesar 26,77 miliar US dolar yang mengakibatkan neraca perdagangan sektor pertanian surplus 15,843 US dolar.
Ujicoba di Jateng
Pemprov Jateng menandatangani nota kesepahaman dengan Perhutani dan UGM untuk mewujudkan sistem pertanian terpadu. Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menyebutkan ada 653 ribu kawasan hutan Perhutani di Jawa Tengah yang sejatinya potensial dimanfaatkan untuk lahan pertanian terpadu dan peberdayaan ekonomi masyarakat desa yang tinggal di sekitar kawasan hutan.
“Kawasan hutan perlu dipakai karena stok pangan kita makin berkurang,” katanya.
Ganjar menambahkan, problem lingkungan hidup dan kehutanan ke depan semakin berebut dan semakin keras. Saat ini ia dipermasalahkan di Rembang, memilih pabrik semen atau sumber air. Menyusul permasalahan di Pati, di Grobogan dan Gombong. Pemprov Jateng sebelumnya menggelontorkan dana sebesar Rp 750 juta untuk pengadaan bibit padi gogo untuk ditanam di kawasan KPH yang ada di Blora, Kendal, Banyumas, Grobogan, Boyolali dan Rembang.
Pemprov akan mengajak masyarakat sekitar hutan untuk memanfaatkan lahan hutan dengaan sistem pertanian terpadu, dibantu UGM dalam pendampingan, varietas dan lainnya.
“Jika ini bisa didorong maka akan membantu mempercepat kedaulatan pangan. Saat ini Jateng surplus pertanian padi 3 juta ton. Bicara kedaulatan pangan maka Jateng haram hukumnya impor beras,” kata Ganjar.
Terkait kondisi sumber air untuk irigasi pertanian, Pemprov Jawa Tengah akan ada proyek besar yakni pembangunan Waduk di Kudus dan Wonogiri. Sementara waduk Karanganyar dan Kota Semarang  sudah jadi.
“Minimal ada lima waduk baru. Jika ini bisa dilaksanakan maka target pangan bisa terpenuhi, jika tidak bisa maka perlu Embung dan selebihnya pakai air tanah,” tutup Ganjar.



dikutip dari : http://www.mongabay.co.id/2015/01/21/klhk-dukung-ugm-rintis-sistem-pertanian-terpadu-di-kawasan-hutan-seperti-apakah/